Minggu, 04 Januari 2015

Bagian Hasil Tanaman Bagi Pemiliknya Sesudah Ditaksir - DR Yusuf Qaradawi



Mengenai hal ini, Qaradawi memaparkan 6 dalil terlebih dahulu sebelum menguraikannya.[1]

1.     Telah dikaji pada pembahasan sebelumnya dalam hadis Sahl ibn Abî Hutsmah bahwa Nabi SAW bersabda: “Bila kalian telah menaksir (besar zakat) maka pungutlah dan tinggalkan sepertiga, jika tidak sepertiga maka tinggalkan seperempatnya.”

2.     Diriwayatkan dari Ibn Abdil Bar secara marfû‘ dari Jabir RA, “Ringankanlah dalam menaksir…”. [Nail al-Awthâr, Jilid 2:144, Penerbit Usamah]

3.     Abû Ubaid meriwayatkan dengan sanad dari Makhûl, dia berkata: “RasûlulLâh SAW apabila mengutus seorang penaksir, beliau bersabda: ‘Ringankanlah, karena sesungguhnya di dalam harta itu terdapat ariyah dan wati’ah.’” [Al-Amwâl: 487; Tahawi: 315. Diriwayatkan dengan sanad jayyid]

4.     Diriwayatkan pula dari al-Auzâ‘i, “Kami mendengar Umar ibn al-Khaththâb berkata, ‘jangan terlalu berat menaksir, karena dalam kekayaan itu terdapat ‘ariya, wati’a dan akila. [al-Amwâl: 487]. Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud dengan ariya adalah kurma yang dipinjamkan pemiliknya kepada orang yang butuh. Wati’a adalah buah yang menjadi hak orang yang lewat di tempat pohon itu tumbuh. Dan Akila adalah pemilik, keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungan pemilik buah.

5.     Diriwayatkan dari Basyir in Yasar bahwa Umar ibn al-Khaththab mengutus Abu Husma Anshari[2] untuk menaksir kekayaan buah kurma Muslimin dan berpesan, “Bila kau lihat ada yang sudah memetiknya, biarkanlah itu untuk makannya, jangan dimasukkan lagi dalam penaksiran.” [Diriwayatkan juga oleh hakim dalam Mukhtashar, Jilid 1: 402, 403 dan juga oleh Ibn Hazm dalam al-Muhalla, jilid 5: 529].

6.     Sahl bin Abi Husma mengatakan bahwa ia pernah dikirim oleh Marwan untuk menaksir zakat kurma, lalu ia menaksir zakat kurma Sa‘ad bin Abi Sa‘ad sebesar 700 wasaq. Ia berkata, “Seandainya saya tidak melihat 40 keluarga lain yang ada disana, saya akan menaksirnya sebesar 900 wasaq. Saya membiarkan makanan itu untuk mereka. [al-Muhalla, Jilid 5: 260]. ”

Hadis pertama shahih menurut segolongan ulama, dan diperkuat oleh hadis dari Jabir, Mursil dan Makhul dan oleh pendapat-pendapat para sahabat (atsar) di atas. Hadis-hadis dan pendapat-pendapat para sahabat itu menunjukkan bahwa pemilik harus dikasihi, tidak dibebani zakat yang memberatkan dan meninggalkan untuk mereka sebagian zakat tersebut, untuk kebutuhan dan keperluan lingkungan mereka.[3]

Kemudian, ada beberapa ulama yang menyanggah dan tidak melaksanakan hadis Sahl di atas dengan alasan yang berbeda-beda, diantaranya:

1.     Hadis itu berlaku khusus, yaitu hanya untuk negeri Khaibar.
2.     Maksud pemilik diberikan 1/3 atau ¼ dari kewajiban zakat 10% supaya mereka sendiri yang membagikannya kepada keluarga dan tetangga-tetangga mereka yang miskin, serta orang lain yang mereka kenal dan meminta.
3.     Ada juga yang mengatakan bahwa 1/3 atau ¼ adalah beban, maksudnya adalah biaya tanaman atau tanah yang tidak ditetapkan dalam perhitungan nishab.

Namun sebagaimana telah dipraktekan oleh Umar bin al-Khaththab, dan disetujui oleh Ahmad, Ishâq, Laist, Syafi‘i dalam qaul qadîm-nya dan Ibn Hazm, maka Qaradawi berpendapat adanya pengurangan dalam penaksiran. Hal ini juga menjadi landasan penting dalam penentuan zakat, bahwa kebutuhan-kebutuhan yang masuk akal dari pemilik dan keluarga begitu juga kebutuhan lingkungan sekitar harus diperhatikan dalam pengurangan penaksiran zakat. Hal ini juga menguatkan pernyataan bahwa kekayaan itu “harus lebih dari kebutuhan pokok”.[4]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 364-365
[2] Ada kejanggalan, karena yang diutus Umar adalah Abu Husma bukan Sahl ibn Abi Husma. Padahal Abu Husma adalah bapak dari Sahl dan seharusnya telah tua umurnya.
[3] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 365
[4] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 368

Tidak ada komentar:

Posting Komentar