Jumat, 30 Januari 2015

Zakat Profesi Menurut Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf dan AbdurRahman Hasan



Qaradlawi menyebutkan bahwa pada tahun 1952 M, beberapa ulama seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf dan AbdurRahman Hasan berceramah tentang zakat profesi di Damaskus. Ceramah tersebut paling tidak bisa disimpulkan sebagai berikut:

1.     Zakat penghasilan yang diperoleh dari sebuah profesi usaha diambil jika sudah berlalu satu tahun dan mencapai nishâb.

2.     Dikatakan bahwa berkenaan dengan nishâb, madzhab Hanafi lebih jelas. Bahwa nishâb cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja, tanpa harus terdapat pada pertengahan tahun.

3.     Ketentuan nishâb[1] harus diperhatikan sehingga jelas siapa yang tergolong kaya yang waijb zakat dan siapa yang tergolong miskin sebagai penerimanya (mustahiq).

4.     Salah satu pendapat ulama yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara zakat profesi ini adalah penghasilan dari sewa-menyewa yang telah disampaikan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa beliau berpendapat jika seseorang menyewakan rumahnya dan mendapatkan bayaran sampai nishâb, maka orang tersebut wajib menunaikan zakatnya tanpa persyaratan setahun.

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb
Sumber: Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 460-461


[1] Orang Mesir dianggap kaya jika memiliki 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama.

Selasa, 13 Januari 2015

Pajak (kharaj) Tanah Pertanian



Dalam khazanah Islam klasik dikenal dua jenis tanah, usyuriya dan kharajiya. Tanah kharajiya adalah tanah yang diperoleh umat Islam melalui penaklukan dan berstatus fa’i, misalnya Iraq, Ahwaz, Persi, Kurman, Isfahan, Ray, Syiria,[1] Mesir dan Afrika Utara. Atau tanah yang ditaklukan melalui perjanjian damai, seperti Najran, Izrah, Daumatul Jandal, Fidk dan lainnya.[2] Tanah-tanah kharajiya merupakan waqaf untuk seluruh kaum Muslimin, dibebankan atas tanah tersebut kharaj sebesar tertentu setiap tahunnya.[3]

Pernah suatu saat Bilal dan para sahabat lainnya meminta khalifah Umar ibn al-Khaththab untuk membagikan tanah-tanah kharajiya kepada para penakluknya sebagaimana harta rampasan perang (ghanimah)[4] di antara prajurit. Umar menolak permintaan itu sambil membacakan kepada mereka QS al-Hasyr 7 – 10:

Apa saja harta rampasan (fa’i)[5] yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (7) …

Ayat di atas menerangkan bahwa fa’I digunakan untuk dibagikan kepada golongan yang lemah dengan ungkapan “كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم” (agar kekayaan itu tidak beredar di antara orang-orang kaya diantaramu saja). Cara pembagiannya biasanya melalui teknis: memberikan gaji tentara, gaji pegawai dan untuk keperluan fasilitas umum.[6]
Kebanyakan ulama-ulama Hanafi pada kurun-kurun akhir memfatwakan bahwa tanah-tanah kharajiya di Mesir dan Syria tidak lagi dipandang sebagai tanah kharajiya dan beban kharaj sudah tidak berlaku lagi atasnya. Karena sudah dikembalikan ke baitul mâl setelah pemiliknya meninggal. Bila seseorang membeli tanah seperti itu dari baitul mal secara sah,[7] maka tanah itu sudah sah menjadi miliknya dan tidak berstatus kharajiya lagi.[8]

Sedangkan tanah Usyuriya adalah tanah yang diperoleh selain dengan cara sebagaimana tanah kharajiya. Kesimpulan dengan cara memperlawanakan dua jenis tanah ini – usyuriya dan kharajiya – digunakan untuk memudahkan pemahaman saja. Contoh tanah-tanah usyuriya, seperti: Madinah, Thaif, Yaman, Bahrain dan demikian juga Makkah yang ditaklukan dengan didahului peperangan tetapi RasûlulLâh SAW membersembahkannya kembali kepada penduduknya.[9]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Ada keterangan “selain kota-kotanya”
[2] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 382
[3] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 382-383
[4] Seperlima dari ghanimah dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. Anak Yatim. d. Fakir miskin. e. Ibnussabil. Sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Lih. Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: CV. Toha Putra, 1989) h. 259
[5] Fa'i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. Ghanimah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: CV. Toha Putra, 1989) h. 906
[6] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 389
[7] Status kharaj tidak bisa berubah walaupun pemiliknya telah masuk agama Islam. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 383
[8] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 392-393
[9] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 381

Senin, 12 Januari 2015

Zakat Tanaman pada Tanah yang Disewakan



Ringkasan pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1.     Seorang pemilik tanah yang menanami tanahnya sendiri, jika hasilnya mencapai nishab maka zakatnya adalah 5% atau 10% bergantung pada jenis pengairannya.[1]

2.     Jika orang itu meminjamkan tanahnya kepada orang lain tanpa imbalan apapun,[2] maka zakat menjadi tanggungan orang yang dipinjami.

3.     Pemilik tanah meminjamkan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan sebagian dari hasil tanaman. Dalam kasus ini, Qaradawi berpendapat keduanya wajib berzakat jika setiap dari keduanya sampai nishab.[3]

4.     Jika pemilik tanah menyewakannya dengan imbalan uang sewa, maka keduanya tetap wajib zakat jika setiap dari keduanya sampai nishab hasil pertanian. Artinya, uang sewa yang diterima pemilik tanah di-standard-kan dengan nishab pertanian 5 wasaq. 

     Demikianlah pendapat Yusuf Qaradawi mengenai hal ini.[4]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 375
[2] Banyak hadis shahih yang berbunyi demikian, “Siapa yang mempunyai tanah hendaklah menanamnya atau memberikannya kepada temannya”. Oleh karenanya, diantara ulama salaf ada yang menghukumi “menanami tanah” – yang menganggur – adalah wajib, sedangkan Ibn Abbas mensunnahkannya. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 375
[3] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 375
[4] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 378-379

Senin, 05 Januari 2015

Apakah Hutang, Pajak dan Biaya Tanam Masuk Perhitungan Zakat? - DR Yusuf Qaradawi



Mengenai hal ini, agaknya tidak ditemukan ayat Al-Qur’an atau Hadis yang menguraikannya secara gamblang. Oleh karenanya, Qaradawi dalam membahas pertanyaan ini mengemukakan berbagai pendapat ulama yang berselisih. Paling tidak perselisihan mereka dapat diringkas sebagai berikut:

1.     Ibn Abbas dan Ibn Umar sependapat bahwa zakat dibayar setelah hasil tanam digunakan untuk pelunasan hutang keperluan ladang dan tanaman, begitu pula pelunasan pajak tanah (kharaj)[1] dan sewa tanah.[2]. Tetapi keduanya tidak sependapat tentang hutang yang timbul untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga.[3] Ibn Abbas berpendapat bahwa hutang yang diperhitungkan hanyalah hutang untuk kepentingan tanaman, tidak untuk kepentingan keluarga. Sedangkan Ibn Umar berpendapat bahwa semua hutang mempengaruhi zakat.[4]

2.     Jika biaya keperluan ladang dan tanaman seperti: ongkos bajak, memetik, menyiangi, memupuk, dll (selain pengairan)[5] bukan dari hutang, maka Ibn Abbas dan Ibn Umar berbeda pendapat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hazm bahwa Ibn Abbas berpendapat bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisa. Sedangkan Ibn Umar berlawanan dengan hal itu.[6]

3.     Pendapat ulama salaf yang paling gamblang menegaskan bahwa biaya dan beban tanaman baik hutang maupun tidak supaya dikeluarkan terlebih dahulu kemudan baru dikeluarkan zakatnya dari sisa adalah pendapat Atha’ yang dilaporkan oleh Ibn Hazm.[7]

Dari tiga uraian ringkas di atas, Qaradawi tidak secara tegas mengambil pendapat Ibn Abbas, Ibn Umar atau Atha’. Namun beliau hanya memberi kesimpulan dan contoh. Salah satu hal yang beliau simpulkan adalah bahwa beban dan biaya dalam pandangan agama merupakan faktor yang memperngaruhi. Besar zakat bisa menjadi kurang karenanya, sebagaimana zakat 10% menjadi 5% karena memerlukan peralatan pengairan. Bahkan zakat ternak bisa menjadi gugur jika ternak harus dicarikan makan sepanjang tahun.[8]

Kemudian Qaradawi mengemukan sebuah contoh:
·                    Jika seseorang mempunyai tanah yang menghasilkan 10 qinthar kapas seharga 200 Pounds.
·                    Ia telah mengeluarkan biaya dan pajaknya untuk itu (selain pengairan) sebesar 60 Pounds, atau sama dengan 3 qinthar.
·                    Maka ia hanya mengeluarkan zakat dari 7 qinthar saja.
·                    Bila tanah itu diairi tanpa alat bantu, maka zakatnya 10%. Namun jika diairi dengan alat bantu, maka zakatnya 5%.[9]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 371
[2] Hal ini karena jumhûr melihat bahwa sewa tanah dapat dianalogikan dengan pajak tanah. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 371
[3] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 369
[4] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 370
[5] Karena pengairan telah dijadikan rukhshah untuk mengurangi beban zakat dari 10% menjadi 5%. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 374
[6] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 372
[7] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 372
[8] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 374
[9] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 374