Pertanyaan:
Benarkah sebelum Idul Adha disunnahkan berpuasa? Bagaimana penjelasannya?
Mas
Dhani – Tamzis JCC
Jawaban:
Benar, sebagaimana
hadis-hadis di bawah ini:
Pertama:
22984 -
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَغْدُو يَوْمَ
الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ، وَلَا يَأْكُلُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ " - مسند أحمد ط الرسالة (38/ 88)
AbdulLâh ibn
Buraidah berbincang kepadaku, dari bapaknya, berkata: “Adalah RasûlulLâh SAW,
tidak pergi pada hari raya idul fitri sampai makan (terlebih dahulu), dan tidak
makan pada hari raya Idul Adha sampai kembali. Beliau (baru) makan sebagian
dari kurbannya itu (sesudah kembali).” [HR Ahmad 22984]
Kedua: Memperjelas
hadis pertama.
953 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ
الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ» «وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا» - صحيح البخاري
(2/ 17)
Dari Anas ibn Mâlik,
berkata: “RasûlulLâh SAW tidak berangkat pada hari Idul Fitri sampai beliau
makan kurma (terlebih dahulu)” (Anas menambahi dari jalur lain): “Beliau
memakannya dengan jumlah ganjil.” [HR Bukhârî 953]
Kedua hadis tersebut
menerangkan:
1.
Sunnahnya
berbuka sebelum Idul Fitri, terutama dengan kurma; dan
2.
Sunnahnya “tidak
makan” sebelum melaksanakan shalat Idul Adha.
Problemnya, bagaimana kita
memaknai kata “tidak makan” itu. Apakah itu berarti tidak makan sesudah bangun
tidur sampai shalat Idul Adha selesai? Atau berarti tidak makan sesudah adzan
subuh berkumandang sampai shalat Idul Adha selesai.
Tidak ada keterangan spesifik
menjelaskan kata “tidak makan” itu. Oleh
karenanya kita kembalikan kepada hukum asal tentang puasa atau menahan makanan
itu sendiri. RasûlulLâh SAW tidak mengajarkan puasa pada malam hari. Bahkan itu
cenderung masuk kategori puasa wishâl yang terlarang.[1]
Maka jelaslah bahwa yang dimaksud “tidak makan” dalam hadis di atas adalah RasûlulLâh
SAW tidak makan sejak adzan subuh berkumandang sampai selesai shalat idul adha.
Karena itu adalah kebiasaan atau tradisi “puasa” atau “tidak makan” yang
diajarkan oleh RasûlulLâh SAW.
WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb
Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân
[1]
Puasa wishâl adalah puasa yang
bersambung, seharusnya puasa selesai ketika berbuka tetapi dia tetap meneruskan
puasanya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa istri Basyîr ibn
al-Khashâshiyyah ingin berpuasa dua hari secara bersambung. Maka Basyîr
melarangnya sebagaimana Nabi SAW melarang hal ini. Kemudian dia berkata bahwa
yang demikian ini adalah perbuatan orang Nasrani. Maka berbukalah pada malam
hari (ba’da maghrib sampai subuh). Lih. Ahmad ibn Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî
al-Syâfi‘î, Fath al-Bârî Juz IV (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1379 H) h. 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar