Senin, 29 September 2014

Sahabat yang Paling Akhir Meninggal Dunia



Pertanyaan:

Siapakah sahabat yang paling akhir meninggal dunia? Pada tahun berapa?

Jawaban:

Sahabat RasûlulLâh SAW yang paling akhir meninggal dunia adalah Abû al-Thufail ‘Âmir ibn Wâtsilah al-Laytsî. Dikenal juga dengan panggilan al-Kinânî. Beliau wafat di Makkah pada tahun 102 H atau ada yang mengatakan 110 H.[1]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Option=FatwaId&Id=78254 dilihat pada hari Selasa, 30 Sepetember 2014 pada pukul 02:01 WIB.
Teks asli:
فإن آخر صحابي توفي من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم هو أبو الطفيل عامر بن واثلة الليثي ويقال الكناني، توفي سنة اثنين ومائة، وقيل عشر ومائة بمكة المكرمة حرسها الله تعالى.

Berpuasa Sebelum Shalat Idul Adha



Pertanyaan:
Benarkah sebelum Idul Adha disunnahkan berpuasa? Bagaimana penjelasannya?
Mas Dhani – Tamzis JCC
Jawaban:

Benar, sebagaimana hadis-hadis di bawah ini:

Pertama:

22984 -  حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ، وَلَا يَأْكُلُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ " - مسند أحمد ط الرسالة (38/ 88)

AbdulLâh ibn Buraidah berbincang kepadaku, dari bapaknya, berkata: “Adalah RasûlulLâh SAW, tidak pergi pada hari raya idul fitri sampai makan (terlebih dahulu), dan tidak makan pada hari raya Idul Adha sampai kembali. Beliau (baru) makan sebagian dari kurbannya itu (sesudah kembali).” [HR Ahmad 22984]

Kedua: Memperjelas hadis pertama.

953 - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ» «وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا» - صحيح البخاري (2/ 17)

Dari Anas ibn Mâlik, berkata: “RasûlulLâh SAW tidak berangkat pada hari Idul Fitri sampai beliau makan kurma (terlebih dahulu)” (Anas menambahi dari jalur lain): “Beliau memakannya dengan jumlah ganjil.” [HR Bukhârî 953]

Kedua hadis tersebut menerangkan:
1.     Sunnahnya berbuka sebelum Idul Fitri, terutama dengan kurma; dan
2.     Sunnahnya “tidak makan” sebelum melaksanakan shalat Idul Adha.

Problemnya, bagaimana kita memaknai kata “tidak makan” itu. Apakah itu berarti tidak makan sesudah bangun tidur sampai shalat Idul Adha selesai? Atau berarti tidak makan sesudah adzan subuh berkumandang sampai shalat Idul Adha selesai.

Tidak ada keterangan spesifik menjelaskan kata “tidak makan” itu.  Oleh karenanya kita kembalikan kepada hukum asal tentang puasa atau menahan makanan itu sendiri. RasûlulLâh SAW tidak mengajarkan puasa pada malam hari. Bahkan itu cenderung masuk kategori puasa wishâl yang terlarang.[1] Maka jelaslah bahwa yang dimaksud “tidak makan” dalam hadis di atas adalah RasûlulLâh SAW tidak makan sejak adzan subuh berkumandang sampai selesai shalat idul adha. Karena itu adalah kebiasaan atau tradisi “puasa” atau “tidak makan” yang diajarkan oleh RasûlulLâh SAW.

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] Puasa wishâl adalah puasa yang bersambung, seharusnya puasa selesai ketika berbuka tetapi dia tetap meneruskan puasanya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa istri Basyîr ibn al-Khashâshiyyah ingin berpuasa dua hari secara bersambung. Maka Basyîr melarangnya sebagaimana Nabi SAW melarang hal ini. Kemudian dia berkata bahwa yang demikian ini adalah perbuatan orang Nasrani. Maka berbukalah pada malam hari (ba’da maghrib sampai subuh). Lih. Ahmad ibn Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî al-Syâfi‘î, Fath al-Bârî Juz IV (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1379 H) h. 203

Sabtu, 27 September 2014

Cara Menegur Orang Tua



Pertanyaan:

Assalamualaikum, bagaimana cara kita menegur orang tua kita yg meninggalkan sholat tanpa halangan apapun, padahal mereka faham bahwa sholat itu wajib?. Mohon penjelasannya.

Mas Arya Bani – Tamzis JCC

Jawaban:

Sesungguhnya orang yang paling tahu bagaimana cara menegur orang tua untuk melakukan suatu kebaikan adalah keluarganya sendiri. Karena dialah orang yang paling dekat dengannya, maka sudah seharusnya dia yang paling tahu karakter orang tuanya.

Kemudian, tata cara apapun yang akan kita tempuh untuk mengingatkan orang tua – apakah dengan keras atau pun lembut –, perlu diketahui bahwa ‘mengingatkan’ itu adalah kewajiban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW:

رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ» - صحيح مسلم (1/ 69)

RasûlulLâh SAW bersabda: “Siapa saja yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (aksi), jika tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya (mewacanakan), jika tidak mampu hendaknya dengan hatinya (diam, namun hatinya tidak suka) dan itu adalah 
selemah-lemah iman” [HR Muslim Juz I, h. 69]

Mengubah dengan tangan tidak selalu berarti memukul pelaku kemunkaran itu. Sebagaimana perilaku RasûlulLâh SAW sendiri, tatkala beliau mengingatkan kesalahan atau kemunkaran tidak selalu dengan mengangkat tangan atau pedang. Akan tetapi tergantung situasi dan kondisi orang dan lingkungan yang melingkupinya. Di bawah ini beberapa contoh bagaimana RasûlulLâh SAW mengubah kemunkaran yang beliau saksikan.

1.     Membiarkan Badui kencing di masjid, kemudian menasehatinya

285 - أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ» فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: «إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ» أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ - صحيح مسلم (1/ 236)

Anas ibn Mâlik berkata: Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang Arab Badui lalu berdiri untuk kencing di masjid. Maka para sahabat membentak: “Apa ini?[1]” Anas melanjutkan: Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu memutuskannya, biarkan dia.” Maka mereka (para sahabat) membiarkan orang tersebut sehingga selesai hajatnya. Setelah itu, Rasulullah SAW memanggil orang badui itu dan menasihatinya, “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh digunakan untuk kencing dan membuang kotoran. Masjid adalah tempat untuk zikir, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (Atau sebagaimana sabda Nabi SAW yang sesuai).[2] Setelah itu, Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk mengambil satu ember air dan menyiramnya.” (HR Muslim No. 285)

2.     Mencabut cincin emas sahabat, kemudian membuangnya

2090 - عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ، وَقَالَ: «يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ»، فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ، قَالَ: لَا وَاللهِ، لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صحيح مسلم (3/ 1655)

Dari AbdulLâh ibn ‘Âbbâs RA, sesungguhnya RasûlulLâh SAW melihat cicin emas ditangan seorang sahabatnya. Maka beliau mencabutnya, kemudian membuangnya. Beliau lalu bersabda: “Salah satu dari kalian dengan sengaja mengambil bara api neraka[3] kemudian meletakkannya pada tangannya.” Sesudah RasûlulLâh SAW pergi, dikatakan kepada laki-laki itu: “Ambilah cincinmu, ambilah manfaat darinya.” Laki-laki itu menjawab: “Tidak, demi Allâh, aku tidak akan mengambilnya selamanya. (Karena) sungguh RasûlulLâh telah membuangnya.” [HR Muslim 2090]

3.     Menghadapi orang yang meminta izin berzina

22211 - عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا، فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ وَقَالُوا: مَهْ. مَهْ. فَقَالَ: " ادْنُهْ، فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا ". قَالَ: فَجَلَسَ قَالَ: " أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ؟ " قَالَ: لَا. وَاللهِ جَعَلَنِي اللهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: " وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ ". قَالَ: " أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ؟ " قَالَ: لَا. وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ جَعَلَنِي اللهُ فِدَاءَكَ قَالَ: " وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ ". قَالَ: " أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ؟ " قَالَ: لَا. وَاللهِ جَعَلَنِي اللهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: " وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ ". قَالَ: " أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ؟ " قَالَ: لَا. وَاللهِ جَعَلَنِي اللهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: " وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ ". قَالَ: " أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ؟ " قَالَ: لَا. وَاللهِ جَعَلَنِي اللهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: " وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ ". قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: " اللهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ " قَالَ (2) : فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ. - مسند أحمد ط الرسالة (36/ 545)

Dari Abi Umamah berkata: Sesungguhnya seorang pemuda mendatangi RasûlulLâh SAW, kemudian berkata: “Wahai RasûlulLâh, izinkan aku berzina!” Maka sekelompok sahabat mendatanginya, kemudian membentaknya: “Apa ini? [4]” RasûlulLâh SAW bersabda: “Dekatkan dia (denganku)!” Maka pemuda itu mendekat kepada RasûlulLâh SAW.

Abu Umamah berkata: Pemuda itu duduk, kemudian RasûlulLâh SAW bersabda: “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi pada ibumu?”  Pemuda itu menjawab: “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” RasûlulLâh SAW bersabda: “Demikian pula orang lain tidak suka jika itu terjadi pada ibu mereka.”

RasûlulLâh SAW bersabda: “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi pada putrimu?”  Pemuda itu menjawab: “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” RasûlulLâh SAW bersabda: “Demikian pula orang lain tidak suka jika itu terjadi pada putri mereka.”

RasûlulLâh SAW bersabda: “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi pada saudarimu?”  Pemuda itu menjawab: “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” RasûlulLâh SAW bersabda: “Demikian pula orang lain tidak suka jika itu terjadi pada saudari mereka.”

RasûlulLâh SAW bersabda: “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi pada bibimu (bibi dari bapak)?”  Pemuda itu menjawab: “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” RasûlulLâh SAW bersabda: “Demikian pula orang lain tidak suka jika itu terjadi pada bibi mereka (bibi dari bapak).”

RasûlulLâh SAW bersabda: “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi pada bibimu (bibi dari ibu)?”  Pemuda itu menjawab: “Demi Allah, tidak! Lebih baik Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” RasûlulLâh SAW bersabda: “Demikian pula orang lain tidak suka jika itu terjadi pada bibi mereka (bibi dari ibu).”

Abu Umamah berkata: Kemudian beliau meletakkan tangan beliau di atas pemuda itu dan berdoa: "Ya Allah, ampuni dosanya, bersihkan hatinya dan jagalah kemaluannya" Abu Umamah berkata: Sesudah itu, pemuda ini tidak lagi berpaling pada kemaksiatan (hal-hal yang negatif). [HR Ahmad 22211]

4.     Mendiamkan sahabat yang tidak ikut berperang sampai 50 hari

6255 - أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ كَعْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ: " يُحَدِّثُ حِينَ تَخَلَّفَ عَنْ تَبُوكَ، وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَلاَمِنَا، وَآتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُسَلِّمُ عَلَيْهِ، فَأَقُولُ فِي نَفْسِي: هَلْ حَرَّكَ شَفَتَيْهِ بِرَدِّ السَّلاَمِ أَمْ لاَ؟ حَتَّى كَمَلَتْ خَمْسُونَ لَيْلَةً، وَآذَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَوْبَةِ اللَّهِ عَلَيْنَا حِينَ صَلَّى الفَجْرَ " - صحيح البخاري (8/ 57)

AbdulLâh bin Ka‘ab berkata; saya medengar Ka‘ab bin Malik bercerita ketika dia tidak mengikuti perang tabuk (tanpa udzur), RasûlulLâh SAW melarang berbicara kepada kami. Aku medatangi Rasulullah SAW, kemudian aku memberi salam kepadanya. Aku berkata dalam hatiku: “Apakah beliau menggerak-gerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak?!” Sampai hal itu berlangsung genap lima puluh malam. Kemudian Nabi SAW mengumumkan penerimaan Allah atas taubat kami ba’da shalat shubuh. [HR Bukhârî 6255]

Empat hal itu merupakan contoh bagaimana sikap RasûlulLâh menghadapi kemunkaran yang beliau saksikan. Hal itu juga merupakan penjelas dari hadis “wajibnya mengubah kemunkaran” yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian sikap mana yang paling tepat untuk menghadapi kemunkaran orang tua? Maka keluarganya sebagai orang yang paling dekat seharusnya yang paling tahu dibandingkan orang lain.

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] Lafal “مه مه” adalah kata untuk menghentak, dapat diartikan “Apa ini?” Lih. Muslim ibn Hajjaj al-Naisâbûrî (w. 261), Shahîh Muslim Juz II di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî  (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî) h. 236
[2] Agaknya perawi yakin dengan isi hadis tersebut, namun ragu dengan ketepatan redaksinya sehingga mengatakan hal ini.
[3] RasûlulLâh SAW mengumpamakan cicin emas yang dipakai laki-laki dengan bara api neraka.
[4] Lafal “مه مه” adalah kata untuk menghentak, dapat diartikan “Apa ini?” Lih. Muslim ibn Hajjaj al-Naisâbûrî (w. 261), Shahîh Muslim Juz II di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî  (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî) h. 236