Abû Mâlik dalam kitabnya Shahîh
Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah menegaskan
bahwa orang yang paling berhak memberikan nama kepada seorang anak adalah
bapaknya. Akan tetapi, menjadi lebih baik jika kemudian dimusyawarahkan
bersama istrinya, sehingga keduanya ridla dengan nama tersebut. Namun jika ada
perselisihan pendapat diantara keduanya, maka bapaknya adalah yang paling
berhak untuk memberikan nama.[1]
Abû Mâlik tidak menyebutkan
dalil baik dari al-Qur’ân atau Hadis untuk menguatkan pendapat tersebut. Namun
jika ditilik dalam beberapa kitab hadis akan ditemukan beberapa hadis yang
menguatkan hal ini. Hadis tersebut, diantaranya berbunyi demikian:
5113 – قَالَ رسول الله صلي الله عليه و سلم : «مَنِ ادَّعَى إِلَى
غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ»
- سنن أبي داود (4/ 330), أبواب النوم, باب في الرجل ينتمي إلى غير مواليه
RasûlulLâh SAW bersabda :
“Barang siapa (seorang anak) yang mengaku (menyandarkan namanya) kepada selain
bapaknya, padahal dia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram
baginya.” [HR Abu Dâwud 5113, Abwâb al-Naum, Bâb Fî al-Rajul Yantamî ’Ilâ
ghair Mawâlîhi]
Hadis dengan redaksi yang
mirip juga diriwayatkan dalam Shahîh Bukhârî[2]
dan Shahîh Muslim. Imam Muslim dalam kitabnya tampaknya menilai
bahwa hadis ini berbicara mengenai seorang anak yang membenci bapaknya
sehingga menyandarkan dirinya kepada selain bapaknya.[3]
Orang demikian dianggap kafir dengan kenikmatan Allah, bukan kafir dalam arti
murtad.[4]
Oleh karenanya beliau memasukkannya dalam Kitâb al-Îmân, Bâb Bayân
Hâl Îmân Man Raghiba ‘an Abîhi wa Huwa Ya‘lam yang artinya “Kitab Iman, Bab
Penjelasan Kondisi Iman Orang yang Membenci Bapaknya dan Dia Tahu Bahwa Dia
Bapaknya.”
WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb
Miftah
Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân
[1] Abû Mâlik Kamâl ibn al-Sayyid Sâlim,
Shahîh Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah Juz III (Kairo:
al-Maktabah Al-Tawfîqiyyah, 2003) h. 221
[2] Redaksi shahih bukhari sangat mirip
dengan redaksi muslim. Hanya saja redaksi Muslim lebih panjang. Lih. Muhammad
ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Juz 4 No. 3508 (…: Dâr Thûq
al-Najâh, Cet. I, 1422 H) h. 180
[3] Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h. 79
[4] Hadis dengan redaksi Muslim ini
menganggap orang yang berlaku demikian sebagai orang kafir, berbeda dengan
redaksi Abu Dawud yang mengatakan bahwa orang yang berbuat demikian diharamkan
masuk surga. Selanjutnya, makna kafir dalam redaksi Muslim ini dijelaskan oleh Muhammad
Fu’âd AbdulBâqî berarti kufr al-ni‘mah. Lih. Muslim ibn al-Hajjâj
al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh
Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h.
79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar