Jumat, 07 November 2014

Orang yang Paling Berhak Memberikan Nama Kepada Seorang Anak



Abû Mâlik dalam kitabnya Shahîh Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah menegaskan bahwa orang yang paling berhak memberikan nama kepada seorang anak adalah bapaknya. Akan tetapi, menjadi lebih baik jika kemudian dimusyawarahkan bersama istrinya, sehingga keduanya ridla dengan nama tersebut. Namun jika ada perselisihan pendapat diantara keduanya, maka bapaknya adalah yang paling berhak untuk memberikan nama.[1]

Abû Mâlik tidak menyebutkan dalil baik dari al-Qur’ân atau Hadis untuk menguatkan pendapat tersebut. Namun jika ditilik dalam beberapa kitab hadis akan ditemukan beberapa hadis yang menguatkan hal ini. Hadis tersebut, diantaranya berbunyi demikian:

5113 – قَالَ رسول الله صلي الله عليه و سلم : «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ» - سنن أبي داود (4/ 330), أبواب النوم, باب في الرجل ينتمي إلى غير مواليه

RasûlulLâh SAW bersabda : “Barang siapa (seorang anak) yang mengaku (menyandarkan namanya) kepada selain bapaknya, padahal dia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram baginya.” [HR Abu Dâwud 5113, Abwâb al-Naum, Bâb Fî al-Rajul Yantamî ’Ilâ ghair Mawâlîhi]

Hadis dengan redaksi yang mirip juga diriwayatkan dalam Shahîh Bukhârî[2] dan Shahîh Muslim. Imam Muslim dalam kitabnya tampaknya menilai bahwa hadis ini berbicara mengenai seorang anak yang membenci bapaknya sehingga menyandarkan dirinya kepada selain bapaknya.[3] Orang demikian dianggap kafir dengan kenikmatan Allah, bukan kafir dalam arti murtad.[4] Oleh karenanya beliau memasukkannya dalam Kitâb al-Îmân, Bâb Bayân Hâl Îmân Man Raghiba ‘an Abîhi wa Huwa Ya‘lam yang artinya “Kitab Iman, Bab Penjelasan Kondisi Iman Orang yang Membenci Bapaknya dan Dia Tahu Bahwa Dia Bapaknya.”

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] Abû Mâlik Kamâl ibn al-Sayyid Sâlim, Shahîh Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah Juz III (Kairo: al-Maktabah Al-Tawfîqiyyah, 2003) h. 221
[2] Redaksi shahih bukhari sangat mirip dengan redaksi muslim. Hanya saja redaksi Muslim lebih panjang. Lih. Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Juz 4 No. 3508 (…: Dâr Thûq al-Najâh, Cet. I, 1422 H) h. 180
[3] Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h. 79
[4] Hadis dengan redaksi Muslim ini menganggap orang yang berlaku demikian sebagai orang kafir, berbeda dengan redaksi Abu Dawud yang mengatakan bahwa orang yang berbuat demikian diharamkan masuk surga. Selanjutnya, makna kafir dalam redaksi Muslim ini dijelaskan oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî berarti kufr al-ni‘mah. Lih. Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar