Selasa, 25 November 2014

Dalil Wajib; Zakat Hasil Tanaman dan Buah-buahan



A.    Dalil Al-Qur’an

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267)} [البقرة: 267]

Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik & sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk darinya untuk kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [QS Al-Baqarah: 267]

{وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)} [الأنعام: 141]

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [QS Al-An‘âm: 141]

B.     Dalil Hadis

1816 - حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُوسَى أَبُو مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، وَعَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ الْعُشْرُ، وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ» - سنن ابن ماجه (1/ 580), كتاب الزكاة, باب صدقة الزروع و الثمار.

Telah berkata kepada kami Ishâq ibn Mûsâ Abu Mûsâ al-Anshârî, ia berkata: telah berkata kepada kami Abdul ‘Azîz ibn ‘Âshim, ia berkata: telah berkata kepada kami al-Hârist ibn AbdirRahmân ibn AbdilLâh ibn Sa‘ad ibn Abî Dzabâb, dari Sulaiman ibn Yasâr,  dan dari Busr ibn Sa‘îd, dari Abi Hurairah, ia berkata: RasûlulLâh SAW bersabda: “Yang diairi air hujan dan mata air, zakatnya 10%, dan yang diairi dengan penyiraman 5%”. [HR Ibn Mâjah 1816]

Hadis ini disahihkan oleh Al-Albânî. Kemudian Muhammad Fu’âd AbdulBâqî memberikan catatan bahwa “yang diari air hujan” maknanya yang tidak membutuhkan biaya peralatan. Sedangkan “yang diairi dengan penyiraman” berarti yang membutuhkan biaya peralatan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dâwud dan Nasâ’î dengan redaksi yang berbeda-beda. Dalam beberapa redaksi, “pengairan air sungai” dimasukkan kategori zakat 10%.

C.     Ijmâ‘

Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat sebesar 10% atau 5% dari keseluruhan hasil tani, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang ketentuan-ketentuan lain.[1]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] DR Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat diterjemahkan dari judul aslinya Fiqh al-Zakâh (Jakarta: Litera AntarNusa, Cet. 10, 2007) h. 331

Minggu, 23 November 2014

Jual Beli dengan Mengakhirkan Barangnya (Salaf/Salam)



Jual beli yang demikian disebut dengan jual beli salaf atau salam. Disebut salaf karena mendahulukan pembayaran, dan disebut salam karena disyaratkan menyerahkan pembayaran pada majlis akad.[1] Supaya tidak terjadi penipuan dalam transaksi jual belinya, maka Islam mensyaratkan harus dengan timbangan (al-wazn), takaran (al-kayl), dan waktu yang diketahui. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: 

2239 - حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ، أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي المِنْهَالِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وَالنَّاسُ يُسْلِفُونَ فِي الثَّمَرِ العَامَ وَالعَامَيْنِ، أَوْ قَالَ: عَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً، شَكَّ إِسْمَاعِيلُ، فَقَالَ: «مَنْ سَلَّفَ فِي تَمْرٍ، فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ، وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ»، ... - صحيح البخاري (3/ 85)

Amr ibn Zurârah telah berkata kepada kami (bahwa) Ismâ‘îl ibn ‘Ulayyah telah mengabarkan kepada kami (bahwa) Ibn Abi Najîh telah mengabarkan kepada kami, dari AbdulLâh ibn Katsîr, dari Abî al-Minhâl, dari Ibn Abbâs RA, dia berkata: RasûlulLâh SAW datang ke Madinah. (Pada waktu itu), masyarakat membeli buah-buahan dengan (membayar terlebih dahulu sedangkan buahnya belakangan) untuk satu atau dua tahun. Atau ia berkata: untuk dua atau tiga tahun, Ismâ‘îl ragu. Maka RasûlulLâh bersabda: “Barang siapa melakukan salah (beli dengan membayar terlebih dahulu, barangnya diakhirkan) dalam buah-buahan, maka lakukanlah dengan takaran (kayl) dan timbangan (wazn) yang diketahui” [HR Bukhârî No. 2239 Kitâb al-Salam, Bâb al-Salam fî Kayl Ma‘lûm (3/85).

Dalam riwayat lain disebutkan juga dalam waktu yang diketahui (إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ). Seperti hadis riwayat Bukhâri No. 2240 Kitâb al-Salam, Bâb al-Salam fî Wazn Ma’lûm (3/85).


[1] Lih. catatan Mushthafa al-Bighâ terhadap Hadis Bukhâri No. 2239 Kitâb al-Salam, Bâb al-Salam fî Kayl Ma‘lûm (3/85).

Sabtu, 22 November 2014

Manuskrip Al-Qur'an Paling Tua yang Ditemukan Saat Ini


Manuskrip tersebut dapat dibaca demikian:

أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (265) أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (268) يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269) وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (270) إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (271) - البقرة: 265-271

Lebih lengkapnya dapat dibaca pada wikipedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Manuskrip_Sana%27a
http://en.wikipedia.org/wiki/Sana%27a_manuscript

Rabu, 19 November 2014

Nasî’ah Tapi Bukan Riba


Imam Bukhâri dalam kitab shahihnya menuliskan sebuah hadis tentang jual beli nasî’ah tapi tidak masuk dalam kategori riba nasî’ah. Hadis tersebut berbunyi demikian:

2096 - حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ» - صحيح البخاري (3/ 62)
Yusuf ibn ‘Îsâ telah berkata kepada kami (bahwa) Abû Mu‘âwiyah telah berkata kepada kami (bahwa) al-A’masy telah berkata kepada kami, dari Ibrâhîm, dari al-Aswad, dari Â’isyah RA, dia berkata: “RasûlulLâh SAW membeli makanan dari orang yahudi dengan cara nasî’ah, dan beliau menggadaikan baju besinya” [HR Bukhârî No. 2096, Kitâb al-Buyû‘, Bâb Syirâ’ al-Imâm al-Hawâ’ij binafsihi … (3/62)]
Mushthafa al-Bighâ memberikan keterangan terhadap makna nasî’ah yang dimaksud dalam hadis tersebut. Yaitu, dengan mengakhirkan pembayarannya sampai waktu tertentu.

Jumat, 07 November 2014

Orang yang Paling Berhak Memberikan Nama Kepada Seorang Anak



Abû Mâlik dalam kitabnya Shahîh Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah menegaskan bahwa orang yang paling berhak memberikan nama kepada seorang anak adalah bapaknya. Akan tetapi, menjadi lebih baik jika kemudian dimusyawarahkan bersama istrinya, sehingga keduanya ridla dengan nama tersebut. Namun jika ada perselisihan pendapat diantara keduanya, maka bapaknya adalah yang paling berhak untuk memberikan nama.[1]

Abû Mâlik tidak menyebutkan dalil baik dari al-Qur’ân atau Hadis untuk menguatkan pendapat tersebut. Namun jika ditilik dalam beberapa kitab hadis akan ditemukan beberapa hadis yang menguatkan hal ini. Hadis tersebut, diantaranya berbunyi demikian:

5113 – قَالَ رسول الله صلي الله عليه و سلم : «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ» - سنن أبي داود (4/ 330), أبواب النوم, باب في الرجل ينتمي إلى غير مواليه

RasûlulLâh SAW bersabda : “Barang siapa (seorang anak) yang mengaku (menyandarkan namanya) kepada selain bapaknya, padahal dia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram baginya.” [HR Abu Dâwud 5113, Abwâb al-Naum, Bâb Fî al-Rajul Yantamî ’Ilâ ghair Mawâlîhi]

Hadis dengan redaksi yang mirip juga diriwayatkan dalam Shahîh Bukhârî[2] dan Shahîh Muslim. Imam Muslim dalam kitabnya tampaknya menilai bahwa hadis ini berbicara mengenai seorang anak yang membenci bapaknya sehingga menyandarkan dirinya kepada selain bapaknya.[3] Orang demikian dianggap kafir dengan kenikmatan Allah, bukan kafir dalam arti murtad.[4] Oleh karenanya beliau memasukkannya dalam Kitâb al-Îmân, Bâb Bayân Hâl Îmân Man Raghiba ‘an Abîhi wa Huwa Ya‘lam yang artinya “Kitab Iman, Bab Penjelasan Kondisi Iman Orang yang Membenci Bapaknya dan Dia Tahu Bahwa Dia Bapaknya.”

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] Abû Mâlik Kamâl ibn al-Sayyid Sâlim, Shahîh Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhîh Madzâhib al-’A’immah Juz III (Kairo: al-Maktabah Al-Tawfîqiyyah, 2003) h. 221
[2] Redaksi shahih bukhari sangat mirip dengan redaksi muslim. Hanya saja redaksi Muslim lebih panjang. Lih. Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Juz 4 No. 3508 (…: Dâr Thûq al-Najâh, Cet. I, 1422 H) h. 180
[3] Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h. 79
[4] Hadis dengan redaksi Muslim ini menganggap orang yang berlaku demikian sebagai orang kafir, berbeda dengan redaksi Abu Dawud yang mengatakan bahwa orang yang berbuat demikian diharamkan masuk surga. Selanjutnya, makna kafir dalam redaksi Muslim ini dijelaskan oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî berarti kufr al-ni‘mah. Lih. Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî (261 H), Shahîh Muslim Juz I No. 61 di-tahqîq oleh Muhammad Fu’âd AbdulBâqî (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâst al-‘Arabî, …,…) h. 79