Kamis, 02 Oktober 2014

RIBA



A.      Definisi dan Klasifikasi

Riba adalah tambahan pada barang tertentu, terjadi pada transaksi hutang-piutang dengan waktu (jatuh tempo) dan terkadang juga terjadi pada jual beli barang-barang ribawi.[1]
Riba dibagi menjadi dua[2]:

a.       Riba Fadhl berhubungan dengan jual beli barang-barang ribawi[3]

b.      Riba Nasî’ah berhubungan dengan hutang-piutang.[4] Dinamakan nasî’ah karena selalu bertambah setiap jatuh tempo.[5] Terkadang transaksinya bercampur dengan jual beli barang ribawî yang tidak dibayarkan secara tunai. Kemudian barang itu dicicil setiap waktu tertentu. Ketika ia tidak mampu mencicil pada waktu jatuh tempo, maka tagihannya akan bertambah.[6]

Mengenai definisi ini, Imam Nawawi mengomentari, “Umat Islam sepakat dengan keharaman riba walaupun mereka berbeda dalam ketepatan pemahaman apa itu riba dan bagaimana definisinya”.[7]

B.      Penamaan

Riba Fadhl terjadi pada transaksi jual beli, oleh karenanya juga disebut riba jual beli.
Riba Nasî’ah terjadi pada transaksi hutang piutang, oleh karenanya juga disebut riba hutang piutang. Terkadang juga disebut sebagai riba jahiliyah karena terjadi di zaman jahiliyah. RasûlulLâh sendiri menisbahkan riba jahiliyyah ini kepada Abbas ibn Abdul Muthallib. Saat haji wada‘[8] beliau bersabda:

"وَكُلُّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ" - تفسير ابن كثير ت سلامة (1/ 709)

Dan setiap riba di zaman jahiliyah dilarang[9], dan riba yang pertama aku larang adalah riba Abbas ibn Abdul Muthallib.[10]

C.      Bangsa Yahudi melakukan Riba

وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً - اﻟﻨﺴاء: 161

 Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. [QS al-Nisâ’ : 161]

D.      Barang-barang ribawi dalam riba fadhl

عن أبي سعيد الخدري - رضي الله عنه - قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: ((الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ  والمعطي فيه سواء)) مسلم، كتاب المساقاة والمزارعة، باب الربا، برقم 1584 - الربا (ص: 18)

Dari Abi Sa‘îd al-Khudrî RA berkata: RasûlulLâh SAW bersabda: “emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama jenis dan timbangannya, serta tunai. Maka barang siapa yang menambah atau minta tambahan sungguh telah melakukan riba, baik yang mengambil maupun yang memberi sama.” [HR Muslim 1584, kitâb al-Musâqah wa al-Muzâra‘ah, Bâb al-Ribâ][11]

Dzâhiriyyah berpendapat bahwa riba fadhl hanya terjadi pada enam barang ribawi di atas. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa riba fadhl juga dapat terjadi pada barang-barang selain enam barang ribawi selama memiliki illah yang sama. Namun mereka berbeda pendapat tentang illah pengharaman barang-barang ribawi itu.

Bagi syafi’iyyah, illah emas dan perak adalah “sebagai alat tukar”. Sedangkan illah empat barang sisanya adalah “barang yang bisa dimakan”. Mâlik sepakat bahwa illah emas dan perak  adalah “sebagai alat tukar”, namun untuk illah empat barang sisanya menurut beliau adalah “barang yang bisa disimpan sebagai makanan pokok”. Abu Hanifah berpendapat bahwa illah emas dan perak adalah “bisa ditimbang” (موزون) dan illah empat barang sisanya adalah “bisa ditakar” (مكيل).[12]

E.       Riba Nasî’ah

Rasyîd Ridhâ dalam tafsirnya Al-Manâr mengatakan bahwa Ibn Abbas tidak mengharamkan riba kecuali riba nasî’ah, karena riba inilah yang dikenal diantara orang arab pada kala itu. Agaknya pendapat ini telah dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa Ibn Abbas dan Ibn Umar menyandarkan pendapatnya pada hadis Usâmah ibn Zaid, “Riba itu hanyalah riba nasî’ah” (إنما الربا في النسيئة) [HR Syakhâni]. Kemudian keduanya menarik pendapat itu, dan tetap mengharamkan riba fadhl setelah mengetahui hadis Abu Sa’îd al-Khudri sebagaimana disebutkan oleh Muslim.[13]

Masyarakat jahiliyyah biasa memberlakukan riba nasî’ah di tengah-tengah mereka. Misalnya ada diantara mereka berhutang unta bint makhadh kemudian tidak dapat membayar hutangnya pada tahun ini, maka pada tahun kedua dia harus membayar unta bint labûn. Jika masih tidak mampu membayar, maka tahun ketiga dia harus membayar unta hiqqah. Jika masih tidak mampu membayarnya, maka pada tahun keempat dia harus membayar unta jadz‘ah, dan seterusnya. Begitulah adat yang berlaku ditengah-tengah masyarakat jahiliyyah.[14]

F.       Jual beli sejenis yang bertambah tetapi tetap diperbolehkan.

Jual beli ini berlaku untuk selain barang yang tidak memiliki illah yang sama dengan enam barang ribawi, yakni “bisa ditakar dan ditimbang”. Contohnya seperti jual beli hewan, budak dan lain sebagainya. Diterangkan dalam hadis:

وعن جابر - رضي الله عنه - قال: جاء عبد فبايع النبي - صلى الله عليه وسلم - على الهجرة، ولم يشعر أنه عبد، فجاء سيده يريده، فقال له النبي - صلى الله عليه وسلم -: ((بعنيه)) فاشتراه بعبدين أسودين، ثم لم يبايع أحداً بعد، حتى يسأله: ((أعبد هو))؟. - الربا (ص: 34)

Dari Jâbir RA berkata: “Datang seorang budak, kemudian dia berbaiat kepada Nabi SAW untuk berhijrah. Beliau tidak tahu bahwa ia adalah seorang budak. Kemudian datang tuannya menginginkan dia (kembali). Maka RasûlulLâh SAW berkata kepadanya: Jualah budak ini dengan bayaran dua budak hitam. Kemudian dia tidak berbaiat kepada seorang pun sesudah itu, hingga ia bertanya kepadanya: ‘Apakah dia budak?’ ” [15]

Ibnu Abbas menguatkan adalanya jual beli jenis ini dalam pernyataannya: “terkadang satu onta lebih baik dari pada dua onta”.[16] Bagitu pula Ibn Musayyab yang berkata: “Tidak ada riba dalam satu onta yang dibeli dengan dua onta, dan satu kambing yang dibeli dengan dua kambing sampai waktu tertentu”.[17]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb

Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân


[1] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 7
[2] Klasifikasi ini juga sebagaimana disebutkan oleh al-Sa‘dî dalam kitab tafsirnya.  AbdurRahmân ibn Nâshir ibn AbdilLâh al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân di-tahqîq oleh AbdurRahmân ibn Mu‘allâ al-Luwaihiq (Mu’asasah al-Risâlah, Cet. I, 1420 H/ 2000 M) h. 116
[3] Lih. DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 18
[4] Tidak seluruh ulama selalu mengkaitkan riba nasî’ah dengan hutang piutang. Sebagaimana DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî yang menyebutkan jual beli satu budak dengan dua budak sebagai riba nasî’ah. DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 34
[5] Jâbir ibn Mûsa ibn AbdulQâdir ibn Jâbir al-Jazâ’irî, Aysar al-Tafâsîr li kalâm al-‘Aliyy al-Kabîr (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H/ 2003 M) h. 268
[6] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 26
[7] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 23
[8] Ibn Katsir mengatakan pada waktu fath makkah. Namun berdasarkan penelitian Syaikh Ahmad Syâkir, beliau mengatakan bahwa ada ketidakjelasan dalam perkataan Ibn Katsir tersebut. Kemudian beliau membenarkan bahwa yang tepat adalah Nabi SAW bersabda ketika haji wada‘. Lih. Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Umar ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm Juz I di-tahqîq oleh Sâmî ibn Muhammad Salâmah (Dâr al-Thîbah, Cet. II, 1429 H/ 1999 M) h. 709
[9] (مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ)  secara bahasa bisa diartikan “diletakkan dibawah dua kaki ini”. Arti itu sama dengan “dilarang”
[10] Ibn Katsir tidak menyebutkan siapa periwayat hadis ini. Akan tetapi hadis ini termasuk hadis yang masyhur. Lih. Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Umar ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm Juz I di-tahqîq oleh Sâmî ibn Muhammad Salâmah (Dâr al-Thîbah, Cet. II, 1429 H/ 1999 M) h. 709
[11] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 19
[12] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 23
[13] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 26-28
[14] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 10
[15] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 33-34
[16]  قال ابن عباس: ((قد يكون البعير خيراً من البعيرين)) - الربا (ص: 35)
DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 35
[17] Hadis:
((لا ربا في البعير بالبعيرين، والشاة بالشاتين إلى أجل)) - الربا (ص: 35)
DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar