A.
Definisi dan
Klasifikasi
Riba adalah
tambahan pada barang tertentu, terjadi pada transaksi hutang-piutang dengan
waktu (jatuh tempo) dan terkadang juga terjadi pada jual beli barang-barang ribawi.[1]
Riba dibagi
menjadi dua[2]:
a. Riba Fadhl berhubungan dengan jual beli
barang-barang ribawi[3]
b. Riba Nasî’ah berhubungan dengan hutang-piutang.[4]
Dinamakan nasî’ah karena selalu bertambah setiap jatuh tempo.[5] Terkadang transaksinya
bercampur dengan jual beli barang ribawî yang tidak dibayarkan secara tunai.
Kemudian barang itu dicicil setiap waktu tertentu. Ketika ia tidak mampu
mencicil pada waktu jatuh tempo, maka tagihannya akan bertambah.[6]
Mengenai definisi
ini, Imam Nawawi mengomentari, “Umat Islam sepakat dengan keharaman riba
walaupun mereka berbeda dalam ketepatan pemahaman apa itu riba dan bagaimana
definisinya”.[7]
B.
Penamaan
Riba Fadhl terjadi
pada transaksi jual beli, oleh karenanya juga disebut riba jual beli.
Riba Nasî’ah
terjadi pada transaksi hutang piutang, oleh karenanya juga disebut riba hutang
piutang. Terkadang juga disebut sebagai riba jahiliyah karena terjadi di zaman
jahiliyah. RasûlulLâh sendiri menisbahkan riba jahiliyyah ini kepada Abbas ibn Abdul
Muthallib. Saat haji wada‘[8] beliau
bersabda:
"وَكُلُّ
رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ، وَأَوَّلُ رِبًا
أَضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ" - تفسير ابن كثير ت سلامة (1/ 709)
Dan setiap riba di
zaman jahiliyah dilarang[9], dan
riba yang pertama aku larang adalah riba Abbas ibn Abdul Muthallib.[10]
C.
Bangsa Yahudi
melakukan Riba
وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ
عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً - اﻟﻨﺴاء: 161
Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
[QS al-Nisâ’ : 161]
D.
Barang-barang
ribawi dalam riba fadhl
عن أبي سعيد الخدري - رضي الله عنه -
قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: ((الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر
بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن
زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي
فيه سواء)) مسلم، كتاب المساقاة والمزارعة، باب الربا، برقم 1584 - الربا (ص: 18)
Dari Abi Sa‘îd
al-Khudrî RA berkata: RasûlulLâh SAW bersabda: “emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut
dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, sama jenis dan timbangannya, serta tunai. Maka barang siapa yang
menambah atau minta tambahan sungguh telah melakukan riba, baik yang mengambil
maupun yang memberi sama.” [HR Muslim 1584, kitâb al-Musâqah wa
al-Muzâra‘ah, Bâb al-Ribâ][11]
Dzâhiriyyah berpendapat bahwa riba fadhl hanya terjadi pada enam barang ribawi di
atas. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa riba fadhl juga dapat terjadi
pada barang-barang selain enam barang ribawi selama memiliki illah yang
sama. Namun mereka berbeda pendapat tentang illah pengharaman
barang-barang ribawi itu.
Bagi syafi’iyyah, illah
emas dan perak adalah “sebagai alat tukar”. Sedangkan illah empat barang
sisanya adalah “barang yang bisa dimakan”. Mâlik sepakat bahwa illah emas
dan perak adalah “sebagai alat tukar”,
namun untuk illah empat barang sisanya menurut beliau adalah “barang
yang bisa disimpan sebagai makanan pokok”. Abu Hanifah berpendapat bahwa illah
emas dan perak adalah “bisa ditimbang” (موزون)
dan illah empat barang sisanya adalah “bisa ditakar” (مكيل).[12]
E.
Riba Nasî’ah
Rasyîd Ridhâ dalam
tafsirnya Al-Manâr mengatakan bahwa Ibn Abbas tidak mengharamkan riba
kecuali riba nasî’ah, karena riba inilah yang dikenal diantara orang arab pada
kala itu. Agaknya pendapat ini telah dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa Ibn
Abbas dan Ibn Umar menyandarkan pendapatnya pada hadis Usâmah ibn Zaid, “Riba
itu hanyalah riba nasî’ah” (إنما الربا في
النسيئة) [HR Syakhâni].
Kemudian keduanya menarik pendapat itu, dan tetap mengharamkan riba fadhl
setelah mengetahui hadis Abu Sa’îd al-Khudri sebagaimana disebutkan oleh
Muslim.[13]
Masyarakat jahiliyyah biasa memberlakukan riba nasî’ah di tengah-tengah
mereka. Misalnya ada diantara mereka berhutang unta bint makhadh kemudian tidak
dapat membayar hutangnya pada tahun ini, maka pada tahun kedua dia harus
membayar unta bint labûn. Jika masih tidak mampu membayar, maka tahun ketiga
dia harus membayar unta hiqqah. Jika masih tidak mampu membayarnya, maka pada
tahun keempat dia harus membayar unta jadz‘ah, dan seterusnya. Begitulah adat
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat jahiliyyah.[14]
F.
Jual beli sejenis yang
bertambah tetapi tetap diperbolehkan.
Jual beli ini
berlaku untuk selain barang yang tidak memiliki illah yang sama dengan
enam barang ribawi, yakni “bisa ditakar dan ditimbang”. Contohnya seperti jual
beli hewan, budak dan lain sebagainya. Diterangkan dalam hadis:
وعن جابر - رضي الله عنه - قال: جاء
عبد فبايع النبي - صلى الله عليه وسلم - على الهجرة، ولم يشعر أنه عبد، فجاء سيده
يريده، فقال له النبي - صلى الله عليه وسلم -: ((بعنيه)) فاشتراه بعبدين أسودين،
ثم لم يبايع أحداً بعد، حتى يسأله: ((أعبد هو))؟. - الربا (ص: 34)
Dari Jâbir RA berkata: “Datang seorang budak, kemudian dia berbaiat kepada Nabi SAW untuk berhijrah. Beliau tidak tahu bahwa ia adalah seorang budak. Kemudian datang tuannya menginginkan dia (kembali). Maka RasûlulLâh SAW berkata kepadanya: Jualah budak ini dengan bayaran dua budak hitam. Kemudian dia tidak berbaiat kepada seorang pun sesudah itu, hingga ia bertanya kepadanya: ‘Apakah dia budak?’ ” [15]
Ibnu Abbas
menguatkan adalanya jual beli jenis ini dalam pernyataannya: “terkadang satu
onta lebih baik dari pada dua onta”.[16]
Bagitu pula Ibn Musayyab yang berkata: “Tidak ada riba dalam satu onta yang
dibeli dengan dua onta, dan satu kambing yang dibeli dengan dua kambing sampai
waktu tertentu”.[17]
WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb
Miftah
Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur’ân
[1] DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 7
[2] Klasifikasi ini juga sebagaimana disebutkan oleh
al-Sa‘dî dalam kitab tafsirnya.
AbdurRahmân ibn Nâshir ibn AbdilLâh al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm
al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân di-tahqîq oleh AbdurRahmân
ibn Mu‘allâ al-Luwaihiq (Mu’asasah al-Risâlah, Cet. I, 1420 H/ 2000 M) h. 116
[3] Lih. DR. Sa‘îd
ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai
al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 18
[4] Tidak seluruh
ulama selalu mengkaitkan riba nasî’ah dengan hutang piutang. Sebagaimana DR.
Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî yang menyebutkan jual beli satu budak
dengan dua budak sebagai riba nasî’ah. DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî,
al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh:
Mathba‘ah Safîr) h. 34
[5] Jâbir ibn Mûsa
ibn AbdulQâdir ibn Jâbir al-Jazâ’irî, Aysar al-Tafâsîr li kalâm al-‘Aliyy
al-Kabîr (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H/ 2003 M)
h. 268
[6] DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 26
[7] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf
al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh:
Mathba‘ah Safîr) h. 23
[8] Ibn Katsir
mengatakan pada waktu fath makkah. Namun berdasarkan penelitian Syaikh Ahmad
Syâkir, beliau mengatakan bahwa ada ketidakjelasan dalam perkataan Ibn Katsir
tersebut. Kemudian beliau membenarkan bahwa yang tepat adalah Nabi SAW bersabda
ketika haji wada‘. Lih. Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Umar ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adzîm Juz I di-tahqîq oleh Sâmî ibn Muhammad
Salâmah (Dâr al-Thîbah, Cet. II, 1429 H/ 1999 M) h. 709
[9] (مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ) secara bahasa bisa diartikan “diletakkan
dibawah dua kaki ini”. Arti itu sama dengan “dilarang”
[10] Ibn Katsir
tidak menyebutkan siapa periwayat hadis ini. Akan tetapi hadis ini termasuk
hadis yang masyhur. Lih. Abu al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Umar ibn Katsîr (w. 774 H), Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adzîm Juz I di-tahqîq oleh Sâmî ibn Muhammad
Salâmah (Dâr al-Thîbah, Cet. II, 1429 H/ 1999 M) h. 709
[11] DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 19
[12] DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 23
[13] DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 26-28
[14] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ;
Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah
Safîr) h. 10
[15] DR. Sa‘îd ibn ‘Alî ibn Wahf
al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyadh:
Mathba‘ah Safîr) h. 33-34
[16] قال ابن عباس: ((قد
يكون البعير خيراً من البعيرين)) - الربا (ص: 35)
DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 35
[17] Hadis:
((لا ربا في البعير بالبعيرين، والشاة بالشاتين إلى
أجل)) - الربا (ص: 35)
DR. Sa‘îd ibn
‘Alî ibn Wahf al-Qahthânî, al-Ribâ; Adhrâruhu wa Âtsâruhu fî dhai al-Kitâb
wa al-Sunnah (Riyadh: Mathba‘ah Safîr) h. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar