Rabu, 31 Desember 2014

Waktu Menaksir Nishab Zakat Kurma dan Anggur - DR Yusuf Qaradawi



Penaksiran nishab kurma dan anggur dilakukan saat buah sudah tua (matang). Sebagaimana hadis dari Â’isyah RA:

2315 عَن عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ وَهِيَ تَذْكُرُ شَأْنَ خَيْبَرَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَبْعَثُ ابْنَ رَوَاحَةَ فَيَخْرُصُ النَّخْلَ حِينَ يَطِيبُ أَوَّلُ الثَّمَرِ قَبْلَ أَنْ تُؤْكَلَ، ثُمَّ يُخَيِّرُ الْيَهُودَ بِأَنْ يَأْخُذُوهَا بِذَلِكَ الْخَرْصِ أَمْ يَدْفَعُهُ الْيَهُودُ بِذَلِكَ، وَإِنَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالْخَرْصِ لِكَيْ تُحْصَى الزَّكَاةُ قَبْلَ أَنْ تُؤْكَلَ الثَّمَرَةُ وَتُفَرَّقَ» - صحيح ابن خزيمة (4/ 41)[1]

Dari Aisyah RA, dia mengingat keadaan (perang) khaibar dan berkata: “RasûlulLâh SAW mengutus Ibn Rawâhah untuk menaksir kurma waktu sudah matang buah pertama sebelum dimakan. Kemudian ia meminta para penduduk Yahudi itu untuk menerima taksiran itu atau tidak menerimanya. Sesungguhnya RasûlulLâh SAW hanya memerintahkan penaksiran supaya zakat itu dihitung sebelum buah itu dimakan atau dipisahkan[2]” [HR Ibn Khuzamah]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] ([التعليق] 2315 - قال: إسناده صحيح على شرط مسلم)  Catatan: komentator hadis ini berkata: sanadnya shahih berdasarkan syarat Imam Muslim RA.
[2] Saya kurang tahu makna “dipisahkan”, apakah dipetik atau dipisah-pisahkan dalam arti diproses untuk menjadi kurma kering. WalLâhu a’lam.

Senin, 29 Desember 2014

Hukum Menaksir Nishab Zakat Kurma dan Anggur - DR Yusuf Qaradawi



A.    Hukum

a.     Bid’ah dan Tertolak

Al-Sya’bî berpendapat bahwa sistem penaksiran untuk menentukan nishâb itu hukumnya bid’ah. Sedangkan golongan ahl al-ra’yi[1] menolak dan berpendapat bahwa penaksiran itu dilakukan untuk menakut-nakuti petani (pada waktu itu) agar tidak berbohong. Oleh karenanya, khabar yang menginformasikan tentang hal ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Hal itu juga hanya dugaan yang tidak mungkin benar dan hanya diperbolehkan sebelum riba dan qimar[2] dilarang.[3] Imam Abu Hanifah juga menolak hal ini, bagi beliau penaksiran ini sama halnya dengan menduga-duga yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana ia juga menolak undian (al-qur’ah).[4]

b.     Mubah

Tampaknya Qaradawi cenderung memilih pendapat ini. Kemudian ia menuliskan bahwa para salaf yang mendukung pendapat ini diantaranya: Umar ibn al-Khaththab, Sahal ibn Abu Husma, Marwan, Qasim ibn Muhammad, Hasan, ‘Atha, Zuhri, Umar ibn Dinar, Malik, Syâfi’î, Abu Dawud, Abu Tsaur dan lainnya.[5] Para jumhur ini memukakan alasan sebagai berikut:

1.     Diriwayatkan oleh Sa’îd ibn al-Muasayyab dan ‘Itâb: “Sesungguhnya Nabi SAW mengutus sahabatnya supaya mentaksir (berat) angur dan buah-buahan mereka”. [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Mâjah][6]

2.     Dari Sa’îd ibn Musayyib – dalam satu riwayat lainnya – berkata: “RasûlulLâh SAW memerintahkan supaya anggur juga ditaksir (zakatnya/ beratnya) sebagaimana kurma. Kemudian anggur ( ‘inab) zakatnya diambil berupa anggur (zabîb), sebagaimana kurma (nakhl) zakatnya diambil berupa kurma kering (tamr).”[7]

3.     Nabi pernah mempraktekkan sendiri penaksiran itu. Beliau menaksir besar zakat kebun seorang perempuan di satu kampung, pada masa perang Tabuk, yang besarnya 10 wasaq. “Coba kau hitung lagi, benarkah demikian!” perintah Nabi SAW. Perempuan itu menghitungnya dan ternyata memang sebanyak apa yang dikatakan RasûlulLâh SAW. [Hadis Mursal, riwayat Abu Dawud, Nasâ’î, Ibn Hibban, dan Dâruquthnî][8]

4.     Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah yang menceritakan peristiwa perang Khaibar, “Nabi SAW mengutus AbdulLâh ibn Rawahah kepada seorang Yahudi untuk menaksir besar zakat kurmanya waktu matang sebelum dimakan.” [HR Bukhari - Muslim][9]

5.     Dari Sahl ibn Abî Husymah berkata: RasûlulLâh SAW bersabda: “Apabila kalian menaksir, maka pungutlah dan tinggalkan sepertiganya, jika tidak meninggalkan sepertiga maka tinggalkan seperempat.” [HR Khamsah, kecuali Ibn Majah].[10]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Diterjemahkan muktazilah dalam buku Hukum Zakat. Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 361
[2] Diterjemahkan dalam buku Hukum Zakat dengan “undian”. Dalam buku aslinya Fiqh al-Zakâh disebut dengan lafal “qimar”. “Qimar” adalah semacam judi atau sering diterjemahkan money game, bukan undian. Namun demikian, Qaradawi sempat menuliskan pendapat Imam Abu Hanifah yang menolak al-qur’ah (undian). Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 361
[3] Yusuf Qaradawi, Fiqh al-Zakâh (Beirut: Muassasah al-Risâlah, Cet. II, 1393 H/ 1973 M) h. 383
[4] Yusuf Qaradawi menuliskan bahwa Imam Abu Hanifah menolak al-qur’ah (undian). Hal ini belia referensikan dalam kitab Ma’âlim al-Sunan, Jilid 2; 210. Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 382
[5] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 359
[6] Sanad hadis terputus karena Sa’îd tidak bertemu ‘Itâb. Maka disebut mursal. Tetapi hadis tersebut diperkuat oleh beberapa hadis, perbuatan sahabat dan perbuatan sebagian besar ulama. Demikian Qaradawi menukil dari al-Talkhîsh h. 181 karangan Imam Nawawi. Lih. Yusuf Qaradawi, Fiqh al-Zakâh (Beirut: Muassasah al-Risâlah, Cet. II, 1393 H/ 1973 M) h. 382
[7] Keadaan sanad sama seperti hadis sebelumnya.
[8] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 360
[9] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 360
[10] Yusuf Qaradawi, Fiqh al-Zakâh (Beirut: Muassasah al-Risâlah, Cet. II, 1393 H/ 1973 M) h. 383

Minggu, 28 Desember 2014

Orang yang Wajib Membayar Zakat Fitrah dan Penerimanya Menurut Sayyid Sâbiq



 A.    Orang yang Wajib Membayar Zakat Fitrah
Zakat fitrah diwajibkan untuk seorang muslim yang merdeka dan mampu.[1] Kewajiban itu tidak hanya untuk membayar dirinya saja, tetapi ia juga wajib untuk membayar orang-orang yang ia tanggung, seperti: istri, anak, budak dan lainnya.[2]

Untuk lebih jelasnya, ada baiknya kita telaah hadis Muslim[3] di bawah ini:

19 - (985) أَبَو سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، يَقُولُ: " كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِينَا، عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ، حُرٍّ وَمَمْلُوكٍ، مِنْ ثَلَاثَةِ أَصْنَافٍ: صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ " فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ كَذَلِكَ، حَتَّى كَانَ مُعَاوِيَةُ: «فَرَأَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ بُرٍّ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ» قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: «فَأَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَذَلِكَ» - كتاب الزكاة، باب زكاة الفطر ... ، صحيح مسلم (2/ 679)

Abu Sa’îd al-Khudrî berkata: “Kami membayar zakat fitrah dan RasûlulLâh SAW bersama kami. (Kami membayar) untuk setiap anak kecil dan orang tua, merdeka dan mudak, dari 3 jenis: 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum atau 1 sha’ jewawut. Kami senantiasa membayarkannya demikian sampai datang Muawiyah. Dia berpendapat bahwa 2 mud (1/2 sha’) gandum (syam)[4] sama dengan 1 sha’ kurma.” Abu Sa’îd al-Khudrî berkata: “Adapun saya, senantiasa membayarkannya demikian.” [HR Muslim]
Syafi’i dan Ishâq berpendapat bahwa apapun jenis makanan pokoknya, tetap 1 sha’. Sufyan al-Mubârak dan penduduk Kûfah berpendapat semua 1 sha’ kecuali gandum hanya ½ sha’

B.     Penerima Zakat Fitrah

Penerima zakat fitrah adalah 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam QS al-Taubah: 60.

{إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 60]

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS Al-Taubah: 60]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1] Mampu dalam madzhab Malik, Syâfi’î dan Ahmad adalah memiliki kelebihan dari simpanan makanan pokok untuk sehari semalam. Lih. Sayyid Sâbiq (1420 H), Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Cet. III, 1397 H/ 1977 M) h. 412
[2] Sayyid Sâbiq (1420 H), Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Cet. III, 1397 H/ 1977 M) h. 412-413
[3] Dalam Fiqh Sunnah disebutkan hadis ini diriwayatkan oleh jamaah. Lih. Sayyid Sâbiq (1420 H), Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Cet. III, 1397 H/ 1977 M) h. 413
[4] Dalam riwayat lain, disandarkan ke daerah syam. Lih. Sayyid Sâbiq (1420 H), Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Cet. III, 1397 H/ 1977 M) h. 413

Menyelesaikan Perselisihan Pendapat

TABAYYUN

Di bawah ini adalah sebuah kisah tentang Abu Yusuf. Dia adalah seorang ulama besar, mufti umat Islam di Baghdad, murid dari Imam Abu Hanifah. Pada masanya, terjadi perselisihan tentang ukuran 1 sha' antara penduduk Iraq dan Baghdad. Untuk menyelesaikan hal ini, Abu Yusuf tak segan-segan datang ke Madinah untuk mengklarifikasi kebenaran ukuran 1 sha' menurut RasululLah SAW.

Ibn Hazm meriwayatkan sebuah kisah dari Baihaqi dari Husain, dari Walid. Ia mengatakan, “Abu Yusuf sampai kepada kami (penduduk Iraq) sesudah berhaji. Ia berkata, ‘Saya ingin membuktikan kepada kalian (penduduk Iraq) tentang satu persoalan yang selalu saya pikirkan dan sekarang sudah saya dapatkan jawabannya. Saya telah pergi ke Madinah, lalu saya bertanya tentang besar  1 sha’. Mereka menjawab, ‘sha’ kami adalah sha’ RasûlulLâh SAW.’ Saya bertanya lagi, ‘Apa alasan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan membawakannya untukmu besok.’ Pada keesokkan harinya, telah berkumpul lima puluh orang tua yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar yang masing-masing membawa barang 1 sha’, lalu setiap mereka menceritakan bahwa ia menerimanya dari ayahnya dari ayahnya lagi dan seterusnya, yang memastikan bahwa itulah 1 sha’ RasûlulLâh SAW. Saya meperhatikan semuanya, ternyata sama. Lalu saya uji, ternyata isinya 5 1/3 ratl kurang sedikit sekali. Sekarang saya sudah menemukan kejelasan pasti, lalu saya tinggalkan ukuran 1 sha’ Abu Hanifah dan memakai 1 sha’ penduduk Madinah.’”





Sumber: Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 347