Rabu, 04 Februari 2015

Haul Zakat Profesi/ Penghasilan



Setelah memaparkan pendapat beberapa ulama seperti M Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf dan AbdurRahman Hasan, selanjutnya Qaradawi membahas tentang haul zakat profesi atau zakat penghasilan.[1] Apakah pembayaran zakat profesi/ penghasilan ini harus menunggu satu tahun sebagaimana zakat emas dan perak atau dibayarkan setelah memperolehnya secara langsung seperti  pada zakat tanaman.

Sebenarnya masalah haul ini telah dibahas pada awal buku Hukum Zakat (Fiqh Zakâh), kemudian masalah ini dikaji kembali pada bab zakat profesi. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah sebagai berikut. Haul hanya berlaku untuk zakat modal[2], yaitu seperti: ternak, uang, harta benda dagang. Sedangkan untuk Zakat Pendapatan[3], tidak ada haul didalamnya. Zakat Pendapatan itu seperti: hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulis, harta karun, dan lain sebagainya.[4]

Memang ada perbedaan ulama dalam pelaksanaan teknis haul. Apakah harus menunggu satu tahun terlebih dahulu atau ditunaikan baru menunggu satu tahun, agaknya ini yang diambil oleh Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan Mu’awiyah[5]. Tetapi agaknya semua ulama salaf sepakat terhadap keberadaan haul dalam zakat modal.

Lalu bagaimana dengan zakat profesi/ penghasilan?

Tidak ada dalil yang tegas menjelaskan detil haul zakat profesi. Karena zakat seperti demikian tidak terjadi di zaman RasûlulLâh SAW. Oleh karena itu, pendapat umat Islam terpecah :
1.     Zakat Profesi/ Penghasilan itu tidak ada dalam syariat Islam.
2.     Zakat Profesi/ Penghasilan itu masyrû’
a.     Ditunaikan setelah haul, artinya golongan ini memasukkan zakat penghasilan sebagai jenis Zakat Modal.
b.     Tidak menunggu haul, artinya golongan ini memasukkan Zakat Profesi/ penghasilan dalam jenis Zakat Pendapatan.

Dalam hal ini, Qaradawi lebih memilih pendapat terakhir bahwa Zakat Profesi itu masyrû‘ dan tidak memerlukan haul, namun beliau mempersyaratkan satu tahun sehingga zakat penghasilan tersebut bisa diterima oleh seorang muslim.[6] Kemudian Qaradawi menyampaikan alasan-alasan mengapa beliau memilih pendapat ini:

1.     Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasarkan nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan.

2.     Para sahabat dan tabiin berbeda pendapat dalam harta penghasilan. Sebagian mempersyaratkan masa setahun, sedangkan yang lain tidak mempersyaratkannya namun satu tahun itu bagi mereka adalah waktu harta penghasilan itu diterima oleh seorang muslim.[7]

3.     Tidak ada ijmâ‘ berkaitan dengan hal ini. Sedangkan para Imam madzhab juga berselisih dengan perselihan yang tajam sekali, sehingga Ibn Hazm menilai pendapat mereka hanyala dugaan-dugaan saja.[8]

4.     Lebih dekat dengan nash yang berlaku umum dan tegas, seperti QS. Al-Baqarah: 267

5.     Di-qiyas-kan dengan zakat pertanian.[9] Pengqiyasan dengan zakat pertanian ini juga dilakukan oleh Muhammad Ghazali.[10]

6.     Mengakhirkan penunaian zakat profesi/ penghasilan akan menimbulkan kesulitan dan madharat. Seperti menginvestasikan ke dalam berbagai sektor atau berfoya-foya menghabiskan uang tersebut sehingga tidak terkena nishab zakat di akhir tahun. Sehingga zakat tidak sesuai dengan maksud syariat karena hanya membebani orang yang hemat dan memperingan orang yang boros.[11]

7.     Pendapat yang mengharuskan haul pada harta penghasilan akan menimbulkan ketidakadilan terutama terhadap orang yang terkena zakat pertanian.[12]

8.     Para ulama salaf seperti AbdulLâh ibn Mas’ûd, Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan dan Umar ibn Abdul Azîz melakukan “Penahanan Pada Sumber” (الحجز في المنبع), yaitu memotong (mengambil zakat) dari  pemberian (gaji) yang diberikan negara melalui bait al-mâl.[13]

9.     Pembebasan zakat penghasilan dengan mengakhirkannya selama satu tahun, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan. Hal ini bertentangan dengan sabda Nabi SAW yang mewajibkan seorang Muslim untuk selalu mengorbankan sebagian penghasilannya.
“Setiap orang muslim wajib bersedekah.” Mereka bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya? Beliau menjawab, “Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah.” Mereka bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Beliau bersabda, “Tolong orang yang minta pertolongan.” Mereka bertanya, “Bagaimana bila tidak bisa?” Beliau menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelakan, hal itu merupakan sedekahnya”.

10.                        Lebih mudah.[14]

WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb


[1]  Qaradawi menamakan zakat penghasilan/ pencarian dengan nama zakât kasb al-‘amal (زكاة كسب العمل), dan menamakan zakat profesi dengan nama zakât al-mihan al-hurrah (زكاة المهن الحرة).
[2] Qaradawi menamakannya zakât ra’s al-mâl (زكاة رأس المال). Yusuf Qaradawi, Fiqh al-Zakâh (Beirut: Muassasah al-Risâlah, Cet. II, 1393 H/ 1973 M) h. 161
[3] Qaradawi menamakannya zakât al-dakhl (زكاة الدخل). Yusuf Qaradawi, Fiqh al-Zakâh (Beirut: Muassasah al-Risâlah, Cet. II, 1393 H/ 1973 M) h. 161
[4] Penulis melihat, agaknya yang dimaksud Qaradawi dengan Zakat Modal adalah zakat yang dikhususkan untuk kekayaan yang diam kepemilikannya dan berkembang nilainya. Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 161
[5] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 163
[6] Penulis ragu tentang hal ini, dan belum mencek secara langsung dalam kitab aslinya. Apakah syarat itu berarti sebelum satu tahun zakat itu harus diterima mustahiq atau setelah satu tahun baru boleh diberikan kepada mustahiq oleh lembaga zakatnya. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 475
[7] Qaradawi menambahkan bahwa dengan adanya perbedaan pendapat ini, maka umat Islam harus mengembalikan pada al-Qur’an dan al-Sunnah (QS Al-Nisa’: 59) tanpa menjelaskan tafsirnya. Apakah itu berarti tetap boleh berbeda dan semua benar, atau kemudian harus sama satu pendapat. Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 475
[8] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 475-476
[9] Ada sedikit permasalahan dalam pengqiyasan zakat penghasilan dimana ini merupakan pertanyaan penulis pribadi, “Mengapa haul zakat penghasilan diqiyaskan dengan zakat pertanian sedangkan jumlah wajib zakatnya diqiyaskan dengan zakat emas dan perak?” Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 476-477
[10] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 480
[11] Menurut penulis, pernyataan ini masih menuai banyak kritikan untuk dijadikan sebagai sebuah alasan untuk menggali hukum fikih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 477
[12] Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 477
[13] Selengkapnya lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 478
[14] Lih. Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat terjemah Salman Harun, dkk. dari kitab Fiqh al-Zakâh (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. X, 2007) h. 479

Tidak ada komentar:

Posting Komentar