Setelah memaparkan pendapat
beberapa ulama seperti M Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf dan AbdurRahman Hasan, selanjutnya
Qaradawi membahas tentang haul zakat profesi atau zakat penghasilan.
Apakah pembayaran zakat profesi/ penghasilan ini harus menunggu satu tahun
sebagaimana zakat emas dan perak atau dibayarkan setelah memperolehnya secara
langsung seperti pada zakat tanaman.
Sebenarnya masalah haul ini
telah dibahas pada awal buku Hukum Zakat (Fiqh Zakâh), kemudian
masalah ini dikaji kembali pada bab zakat profesi. Kesimpulan dari pembahasan
ini adalah sebagai berikut. Haul hanya berlaku untuk zakat modal,
yaitu seperti: ternak, uang, harta benda dagang. Sedangkan untuk Zakat Pendapatan,
tidak ada haul didalamnya. Zakat Pendapatan itu seperti: hasil pertanian,
buah-buahan, madu, logam mulis, harta karun, dan lain sebagainya.
Memang ada perbedaan ulama
dalam pelaksanaan teknis haul. Apakah harus menunggu satu tahun terlebih dahulu
atau ditunaikan baru menunggu satu tahun, agaknya ini yang diambil oleh Ibn Mas’ud,
Ibn Abbas dan Mu’awiyah.
Tetapi agaknya semua ulama salaf sepakat terhadap keberadaan haul dalam zakat
modal.
Lalu bagaimana dengan zakat
profesi/ penghasilan?
Tidak ada dalil yang tegas
menjelaskan detil haul zakat profesi. Karena zakat seperti demikian tidak
terjadi di zaman RasûlulLâh SAW. Oleh karena itu, pendapat umat Islam terpecah :
1.
Zakat
Profesi/ Penghasilan itu tidak ada dalam syariat Islam.
2.
Zakat
Profesi/ Penghasilan itu masyrû’
a.
Ditunaikan
setelah haul, artinya golongan ini memasukkan zakat penghasilan sebagai jenis Zakat
Modal.
b.
Tidak
menunggu haul, artinya golongan ini memasukkan Zakat Profesi/ penghasilan dalam
jenis Zakat Pendapatan.
Dalam hal ini, Qaradawi lebih
memilih pendapat terakhir bahwa Zakat Profesi itu masyrû‘ dan tidak
memerlukan haul, namun beliau mempersyaratkan satu tahun sehingga zakat
penghasilan tersebut bisa diterima oleh seorang muslim.
Kemudian Qaradawi menyampaikan alasan-alasan mengapa beliau memilih pendapat
ini:
1.
Persyaratan
satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasarkan nash
yang mencapai tingkat shahih atau hasan.
2.
Para sahabat
dan tabiin berbeda pendapat dalam harta penghasilan. Sebagian mempersyaratkan
masa setahun, sedangkan yang lain tidak mempersyaratkannya namun satu tahun itu
bagi mereka adalah waktu harta penghasilan itu diterima oleh seorang muslim.
3.
Tidak ada ijmâ‘
berkaitan dengan hal ini. Sedangkan para Imam madzhab juga berselisih dengan
perselihan yang tajam sekali, sehingga Ibn Hazm menilai pendapat mereka hanyala
dugaan-dugaan saja.
4.
Lebih dekat
dengan nash yang berlaku umum dan tegas, seperti QS. Al-Baqarah: 267
5.
Di-qiyas-kan
dengan zakat pertanian.
Pengqiyasan dengan zakat pertanian ini juga dilakukan oleh Muhammad Ghazali.
6.
Mengakhirkan
penunaian zakat profesi/ penghasilan akan menimbulkan kesulitan dan madharat.
Seperti menginvestasikan ke dalam berbagai sektor atau berfoya-foya
menghabiskan uang tersebut sehingga tidak terkena nishab zakat di akhir tahun.
Sehingga zakat tidak sesuai dengan maksud syariat karena hanya membebani orang
yang hemat dan memperingan orang yang boros.
7.
Pendapat yang
mengharuskan haul pada harta penghasilan akan menimbulkan ketidakadilan
terutama terhadap orang yang terkena zakat pertanian.
8.
Para ulama
salaf seperti AbdulLâh ibn Mas’ûd, Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan dan Umar ibn Abdul
Azîz melakukan “Penahanan Pada Sumber” (الحجز في المنبع), yaitu memotong (mengambil zakat) dari pemberian (gaji) yang diberikan negara melalui
bait al-mâl.
9.
Pembebasan
zakat penghasilan dengan mengakhirkannya selama satu tahun, berarti membuat
orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang tanpa harus
mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan. Hal ini bertentangan dengan sabda Nabi SAW
yang mewajibkan seorang Muslim untuk selalu mengorbankan sebagian
penghasilannya.
“Setiap orang muslim wajib
bersedekah.” Mereka bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?
Beliau menjawab, “Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu
bersedekah.” Mereka bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Beliau bersabda, “Tolong
orang yang minta pertolongan.” Mereka bertanya, “Bagaimana bila tidak bisa?” Beliau
menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelakan, hal itu merupakan
sedekahnya”.
10.
Lebih mudah.
WalLâhu A‘lam bi al-Shawwâb