Hal ini telah dibahas dalam fatwa tarjih menanggapi pertanyaan dari Ferry al-Firdaus dan Wisnoe Warjana. Dalam artikel singkat ini saya akan memaparkan dengan ringkas apa yang telah difatwakan oleh Tarjih Muhammadiyah itu. Sehingga kita lebih mudah untuk mengambil faedah dan manfaat dari kajian ini.
=-=
Poin Pertama: Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya …" [QS. ath-Thalaq (65): 4].
Poin Kedua: Wanita dalam masa iddah boleh dirujuk oleh suaminya (dimana ia telah berhubungan intim dengannya)
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا ... [البقرة (2): 228]
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa iddah, jika mereka (para suami) itu menghendaki kebaikan (ishlah) ... [QS. al-Baqarah (2): 228]
*Maka ini juga berarti bahwa wanita yang ditalak dalam keadaan hamil boleh dirujuk oleh suaminya. Karena wanita hamil iddahnya sampai ia melahirkan.
Poin Ketiga: Pezina laki-laki boleh menikahi pezina perempuan dalam masa hamil selama laki-laki itulah yang telah berhubungan intim dengannya (lihat poin kedua).
Kesimpulan poin ketiga ini muncul berdasarkan analogi (qias) terhadap poin pertama dan kedua. Tidak dijelaskan secara detil bagaimana proses qias tersebut. Tetapi jika ingin diketahui sedikit lebih mendalam, maka penjabaran qias tersebut paling tidak demikian.
Hukum: Mubah (boleh)
Al-ashl : Suami boleh merujuk istrinya yang telah dicerai walaupun istrinya dalam keadaan hamil. Dimana suaminyalah yang telah menggaulinya.
Al-Furû' : Seorang lelaki boleh menikahi seorang perempuan yang sedang hamil, dimana lelaki itulah yang menggaulinya.
Illah : perempuan hamil dinikahi laki-laki yang menggaulinya.
*Hukum al-furû' akan selalu sama dengan huku al-ashl selama 'illah-nya sama.
Penjabaran qias di atas merupakan prediksi saya pribadi terhadap qias yang dilakukan Majelis Tarjih. Karena dalam fatwa tersebut tidak dijabarkan, maka saya menjabarkan dari sudut pandang saya pribadi. Sehingga maksud "qias" tersebut lebih mudah dipahami.
Poin Keempat: Tidak boleh bagi laki-laki lain (yang tidak menghamili) menikahi perempuan yang hamil itu.
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ افْتَتَحَ حُنَيْنًا فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ ... [رواه أحمد].
"Diriwayatkan dari Ruwaifi' ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku pernah bersama Nabi saw pada perang Hunain, beliau berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menumpahkan airnya (maninya) di atas kebun orang lain …" [HR. Ahmad].
=-=
Keempat poin itu sudah dapat menjelaskan secara gamblang tentang masalah ini. Bahwa kesimpulannya adalah menikahi wanita hamil diperbolehkan bagi laki-laki yang menggaulinya. Demikian apa yang telah dikaji oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang kemudian kami ringkas dalam empat poin di atas. Semoga dapat memberikan banyak faedah dan manfaat.
WalLâhu A'lam bi al-Shawwâb
Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur'ân
Tidak ada komentar:
Posting Komentar