Tampaknya semua ulama sepakat bahwa hukum asal menyentuh mushhaf al-Qur'ân adalah boleh. Sehingga jika tidak ada dalil yang melarangnya, maka hukumnya kembali pada kebolehan itu. Kemudian ada beberapa kalangan yang menjadikan QS al-Wâqi'ah: 79 sebagai dalil larangan menyentuh al-Qur'an bagi orang yang tidak suci. Ayat tersebut berbunyi demikian:
لاَّ يَمَسُّهُ إِلاَّ ٱلْمُطَهَّرُونَ - الواقعة: 79
Tidak menyentuhnya kecuali 'yang disucikan' [QS Al-Waqi'ah: 79]
Mengenai pemahaman terhadap ayat tersebut, Muhammadiyah memaparkan uraian yang menarik dalam kerangka perspektif historis:
"Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi'ah ayat 79) menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur'an baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur'an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur'an baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur'an.
Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur'an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur'an. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan mungkin pula kedua-duanya."[1]
Paparan Muhammadiyah ini juga dikuatkan oleh pendapat Ibn Abbas yang diambil oleh ulama-ulama tafsir lainnya bahwa 'al-muthahharûn' adalah malaikat. Jika 'al-muthahharûn' ini tetap ingin diartikan manusia yang ada di dunia, Ibn katsîr menyebutkan bahwa 'al-muthahharûn'adalah bukan orang majusi yang najis, orang munafik yang kotor, dan bukan pula orang-orang yang suka berbuat dosa (ashâb al-dzunûb).[2]
Memang ada pula kalangan yang berpendapat bahwa Mushhaf al-Qur'ân hanya boleh disentuh oleh orang yang suci berdasarkan hadis:
1 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: «أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ» - موطأ مالك ت عبد الباقي 1/ 199
Dari AbdulLâh ibn Abi Bakar ibn Hazm, bahwa dalam sebuah kitâb (tulisan) yang ditulis oleh RasûlulLâh SAW untuk Amr ibn Hazm : "Hendaknya tidak menyentuh al-Qur'ân kecuali orang yang suci."[3] [HR Imam Mâlik, Kitâb al-Qur'ân, Bâb al-Amr bi al-Wudhû' li Man Massa al-Qur'ân][4]
Dalam kitab al-Tawdhîh li Syarh al-Jâmi' al-Shahîh disebutkan bahwa hadis di atas diterangkan lebih jauh oleh Ibn Hibban dan al-Hâkim dalam sebuah tulisan panjang yang didalamnya juga dibahas masalah diyâh, sunnah-sunnah dan lain sebagainya.[5]
Agaknya hadis di atas yang menjadi dasar terkuat sehingga mayoritas ulama berpendapat bahwa al-Qur'ân tidak boleh disentuh oleh perempuan haidl, orang dalam keadaan junub dan berhadast. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ibn Umar, dan menjadi pendapat banyak ahli fikih diantaranya: Mâlik, al-Awzâ'î, al-Tsawrî, Abu Hanîfah, al-Syâfi'î, Ahmad, Ishaq, Abu tsaur, al-Sya'bî dan al-Qâsim ibn Muhammad.[6]
Namun jika diamati lebih teliti, tampaknya ada dua kejanggalan makna dalam hadis tersebut. Pertama tentang makna al-Qur'ân, karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa al-Qur'an berbentuk cetakan buku tidak ditemukan di zaman RasûlulLâh SAW. Maka yang dimaksud al-Qur'ân itu apakah: (1) hanya tulisan ayat al-Qur'ân; (2) lembaran yang seluruhnya bertuliskan ayat al-Qur'ân; (3) lembaran yang sebagian tulisannya adalah ayat al-Qur'ân; (4) buku yang seluruhnya bertuliskan ayat al-Qur'ân; atau (5) buku yang sebagian tulisannya adalah ayat al-Qur'ân.
Kedua, adalah tentang makna suci (Thâhir). Karena disebutkan dalam hadist:
371 - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ الْمَدِينَةِ، وَهُوَ جُنُبٌ فَانْسَلَّ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ، فَتَفَقَّدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ: «أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَقِيتَنِي وَأَنَا جُنُبٌ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ حَتَّى أَغْتَسِلَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ» - صحيح مسلم 1/ 282
Dari Abu Hurairah RA, bahwa dia (Abu Hurairah) bertemu Nabi SAW di sebuah jalan di Madinah, sedangkan dia dalam keadaan junub. Abu Hurairah pergi secara diam-diam kemudian mandi, sehingga RasûlulLâh SAW kehilangan dia. Ketika Abu Hurairah mendatangi RasululLâh SAW, beliau bersabda: "Dari mana engkau wahai Abu Hurairah?" Abu Hurairah menjawab: "Wahai RasûlulLâh SAW, aku bertemu denganmu sedangkan aku dalam keadaan junub, aku merasa tidak suka/ nyaman untuk duduk bersamamu sehingga aku mandi." Maka RasûlulLâh SAW bersabda: "SubhânalLâh, sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis." [HR Muslim, Kitâb al-Haidh, Bâb al-Dalîl 'alâ Anna al-Muslim Lâ Yanjus]
Juga melihat hadis-hadis lainnya, seperti:
Pertama: Malaikat tidak akan mendatangi orang dalam keadaan junub
1205 - عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ، وَلَا كَلْبٌ، وَلَا جُنُبٌ» - صحيح ابن حبان 4/ 5
Dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda: "Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar, anjing dan orang dalam keadaan junub." [HR Ibn Hibban, Bâb Ahkâm al-Junub, Dzikr Nafy Dukhûl al-Malâ'ikah al-Dâr Allatî fîhâ al-Junub]
Kedua: tentang haidh itu bukan keinginan perempuan
298 - عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ»، قَالَتْ فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ: «إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ» - صحيح مسلم 1/ 244
Diriwayatkan dari Â'isyah RA berkata: "Rasulullah SAW bersabda kepadaku: 'ambillah kain alas sujud di masjid'". Â'isyah RA melanjutkan : "Saya berkata: 'Sesungguhnya saya sedang haid'. Rasulullah SAW bersabda: 'Sesungguhnya haid itu bukan berada di tanganmu.' " [HR Muslim, Kitâb al-Haidh, Bâb Jawâz Ghusl al-Hâidh Ra's Zawjahâ wa Tarjîlahu …]
Ketiga: tentang perempuan haidh tetap boleh beribadah, dalam hal ini haji
5559 - عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَرِفَ وَأَنَا أَبْكِي، فَقَالَ: «مَا لَكِ أَنَفِسْتِ؟» قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «هَذَا [ص:102] أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، اقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ» وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ - صحيح البخاري 7/ 101
Dari 'Âisyah RA, berkata: RasûlulLâh SAW masuk (tenda)ku tanpa sengaja, sedangkan aku sedang menangis. Beliau bertanya: "Apakah engkau haidh[7]?" Aku menjawab: "ya…" RasûlulLâh SAW bersabda: "Ini adalah perkara yang telah ditetapkan Allah kepada para perempuan, laksanakan ibadah haji kecuali thawwaf!" Kemudian RasûlulLâh SAW berkurban seekor sapi untuk istrinya. [HR Bukhârî, Kitâb al-Adhâhî, Bâb Man Dzabaha Dhahiyyah Ghayrahu]
Melihat kajian dan hadis di atas, maka wajar muncul ulama minoritas yang berpendapat bahwa menyentuh mushhaf diperbolehkan baik dengan wudhu maupun tidak, bagi orang junub ataupun haidh. Pendapat ini diambil oleh Ibn Hazm, Rabî'ah, Sa'îd ibn al-Muzayyab, Ibn Jubair, Ibn Abbas, Dâwud dan lainnya.
Kesimpulan:
Melihat perselisihan antara ulama di atas, saya pribadi memilih pendapat demikian.
1. Siapa saja yang akan menyentuh mushhaf al-Qur'ân hendaknya wudlu telebih dahulu, sebagai sebuah cara untuk memuliakan al-Qur'ân.
2. Perempuan haidh diperbolehkan menyentuh mushhaf al-Qur'ân dengan tetap memuliakan dan menjaga kebersihannya. Melihat haidh adalah sebuah fenomena yang terus terjadi dan berlangsung lama. Juga melihat kajian yang telah kami paparkan di atas.
3. Orang junub tidak diperbolehkan menyentuh al-Qur'ân sampai dia bersuci. Melihat bahwa junub berbeda dengan haidh, dimana orang junub bisa segera bersuci sedangkan perempuan haidh harus menunggu sampai selesai haidhnya.
4. Jika berhadast kecil (kentut), kemudian akan menyentuh al-Qur'ân, hendaknya wudlu terlebih dahulu. Sendainya merasa berat, maka tidak wudlu pun tidak mengapa.
5. Jika berhadast besar (buang air), kemudian akan menyentuh al-Qur'an, maka wudlulah terlebih dahulu.
WalLâhu A'lam bi al-Shawwâb
Miftah Khilmi Hidayatulloh, Lc.
Hikmah al-Qur'ân
[1] http://www.fatwatarjih.com/2011/07/pasangan-suami-istri-di-surga-dan-hukum.html
[2] Abu Fidâ' Ismâ'îl ibn Umar ibn Katsîr al-Qurassyî al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm Juz VII (Dâr Thîbah li al-Nasyr wa al-Tawzî', Cet. II, 1420 H/ 1999 M) h. 544.
[3] Dikatakan kualitas hadis ini jayyid. Lih. Sirâj al-Dîn Abu Hafsh Umar ibn Ali ibn Ahmad al-Syâfi'î al-Mashrî, Al-Tawdhîh li Syarh al- Jâmi' al-Shahîh Juz V (Damaskus: Dâr al-Nawâdir, Cet. I, 1429 H/ 2008 M) h. 26
[4] Mâlik ibn Anas ibn Mâlik (w. 179 H), Muwaththa' al-Imâm Mâlik (Beirut: Dâr Ihyâ' al-Turâst al-'Arabî) h. 199
[5] Muhammad ibn hibbân, Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Ibn Bulbân Juz XIV Hadîts No. 6559 di-tahqîq oleh Syu'aib al-Arna'uth (Beirut: Mu'assasah al-Risâlah, Cet. II, 1414 H/ 1993 M) h. 501 dan Abu AbdilLâh al-Hâkim Muhammad ibn AbdilLâh al-Naisâbûrî (w. 405 H), al-Mustadrak 'Ala al-Shahîhain di-tahqîq oleh Mushthafa Abdul Qadir 'Athâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Cet. I, 1411 H/ 1990 M) h. 552
[6] Sirâj al-Dîn Abu Hafsh Umar ibn Ali ibn Ahmad al-Syâfi'î al-Mashrî, Al-Tawdhîh li Syarh al- Jâmi' al-Shahîh Juz V (Damaskus: Dâr al-Nawâdir, Cet. I, 1429 H/ 2008 M) h. 25
[7] Lihat ta'lîq Mushthafa al-Bighâ. Muhammad ibn Ismâ'îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî Juz 1 (Dâr al-Thûq al-Najâh, Cet. I, 1422 H) h. 66